Welcome To My Blog

about me

about me
Bagus Prasudapa

Minggu, 09 Desember 2007




Paradigma Baru Pendidikan

Jasmani Di Indonesia Dalam Era Reformasi



Abstrak

Pendidikan jasmani (penjas) sebagai bagian integral dari proses pendidikan secara keseluruhan. Penjas di sekolah mempunyai peran unik di banding bidang studi lain, karena melalui penjas selain dapat digunakan untuk pengembangan aspek fisik dan psikomotor, juga ikut berperan dalam pengembangan aspek kognitif dan afektif secara serasi dan seimbang. Kurikulum penjas 1994 meskipun telah dievaluasi dan diadakan penyempurnaan dalam prosedur penilaiannya yaitu menghilangkan nilai teori. Hal ini tidak akan memecahkan permasalahan penjas di lapangan, justru akan menambah permasalahan, karena menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai oleh penjas di sekolah, yaitu pengembangan aspek fisik, psikomotor, kognitif, dan afektif secara total. Dalam era reformasi sekarang ini, permasalahan yang harus ditanggapi secara arif dan bijaksana oleh semua pihak, khususnya dalam mereformasi bidang pendidikan perlu lebih mengedepankan kepentingan bangsa dengan cara mencarikan solusinya, dan tidak perlu mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, hal ini tiada habisnya. Oleh karena itu, terobosan baru perlu dilakukan khususnya terkait dengan masalah peningkatan kualitas pembelajaran penjas di sekolah.
 
Pendahuluan
Setiap negara yang merdeka tentu harus mampu mengatasi setiap permasalahan yang dihadapi serta mampu membangun dengan kekuatan sendiri. Menyadari hal itu para pendiri negara Indonesia melalui pembukaan UUD 1945 alenia IV, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pernyataan ini diperkuat oleh pasal 31 UUD 1945 yaitu: 1) tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan 2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undangundang. Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pasal 31 UUD 1945 tersebut, pemerintah telah menetapkan UU nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional sebagai suatu sistem dalam pelaksanaannya harus dipahami sebagai suatu kesatuan yang utuh dan terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan. Hal ini mengandung pengartian, bila salah satu dari komponen sistem yang ada tidak mendapatkan proporsi sebagaimana mestinya, maka mustahil bagi bangsa Indonesia dapat mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UUSPN/199 Bab II Pasal 2). Dalam sistem pendidikan nasional, salah satu kegiatan pendidikan yang harus dilaksanakan adalah program pendidikan jasmani dan kesehatan (Penjaskes) sebagaimana tertuang dalam bab IX pasal 39 butir 3 k. yaitu tentang isi kurikulum bahan kajian pendidikan jasmani dan kesehatan, merupakan salah satu bahan kajian kurikulum pendidikan. Dengan kata lain, kajian pendidikan jasmani dan kesehatan merupakan salah satu wahana untuk mencapai tujuan pendidikan dalam keseluruhan komponen sistem pendidikan nasional. Penjaskes sebagai salah satu subsistem pendidikan yang wajib diajarkan di sekolah memiliki peran penting yang sangat sentral dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Penjas menurut Melograno (1996) dan AAHPERD (1999) adalah suatu proses pendidikan yang unik dan paling sempurna dibanding bidang studi lainnya, karena melalui pendidikan jasmani seorang guru dapat mengembangkan kemampuan setiap peserta didik tidak hanya pada aspek fisik dan psikomotor
semata, tetapi dapat dikembangkan pula aspek kognitif, afektif dan sosial secara bersamasama.
Cholik Mutohir (1990) juga menyatakan bahwa tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa pendidikan jasmani, dan tidak ada pendidikan jasmani tanpa media gerak, karena gerak sebagai
aktivitas jasmani merupakan dasar alami bagi manusia untuk belajar mengenal dunia dan dirinya sendiri. Pendidikan jasmani di sekolah meskipun telah diakui perannya dalam pengembangan kualitas SDM yang sempurna oleh pakar pendidikan di manapun berada, termasuk di Indonesia. Namun dalam kenyataan di lapangan, Penjas di Indonesia belum mampu berbuat banyak dalam ikut menciptakan manusia yang handal dari segi fisik maupun nonfisik. Fenomena ini terjadi karena dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait, diantaranya: Pertama, kebijakan pemerintah mengenai kurikulum penjas di sekolah yang harus diberlakukan
tidak sepadan dengan tujuan yang akan dicapai. Hal ini ditandai oleh:

1) Perubahan nama bidang, namun tidak diikuti isi program yang harus diajarkan,
2) tidak diperhitungkan dalam menentukan kenaikan kelas,
3) pengurangan jam pelajaran pada sekolah menengah umum atau hanya dijadikan sebagai bidang studi pilihan,
4) penilaian hasil belajar tidak melibatkan aspek kognitif,
5) tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, dan
6) kurangnya dukungan yang positif dari pihakpihak yang terkait, misalnya kepsek, guru bidang studi lain, dan orang tua siswa.

Kenyataan tersebut masih diperparah oleh kebijakan pemerintah sejak tahun 1990-an yang mewarnai arah pendidikan di Indonesia dengan menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata, sedangkan aspek-aspek lain yang ada dalam diri siswa kurang mendapat perhatian. Hal ini, karena intelektual hanya dipahami sebagai kemampuan menjawab soal-soal tes intelegensi yang sebenarnya bercirikan sebagai intelegensi logika matematika. Dengan pemahaman ini berakibat buruk pada bidang studi lain yang dianggap mengganggu atau tidak mendukung misi tersebut, jam pelajarannya dikurangi dan bahkan dihilangkan dari struktur kurikulum, misalnya bidang studi penjaskes untuk kelas tiga SMU. Kedua, kondisi yang terkait langsung di lapangan, diantaranya adalah :

1) terbatasnya kemampuan guru penjas dan sumbersumber yang digunakan untuk mendukung
proses pembelajaran,
2) sistem penilaian kinerja guru dalam rangka kenaikan pangkat tidak dilakukan oleh orang yang mampu di bidangnya, sehingga tidak memacu guru untuk terus mengembangkan karier profesional,
3) jumlah guru bidang studi di sekolah relatif masih kurang, terutama pada sekolah dasar,
4) model praktek pembelajaran penjas yang dikerjakan oleh guru mulai dari TK sampai perguruan tinggi cenderung masih bersifat tradisional dan terpusat pada guru,
5) guru penjas pada umumnya pasif dalam mengantisipasi pengembangan profesinya dan
6) kurangnya dukungan dari kepala sekolah maupun guru bidang studi lain.

Dengan adanya berbagai kendala tersebut, akibat secara langsung yang dapat kita lihat dari hasil pendidikan jasmani adalah:

1) makin menurunnya
tingkat kebugaran jasmani siswa. Hasil penelitian secara nasional menunjukkan bahwa pelajar usia 16- 19 tahun 45,9% memiliki tingkat kebugaran jasmani kurang atau kurang sekali, pelajar 13-15 tahun 37% memiliki tingkat kebugaran jasmani kurang atau kurang sekali. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan juga bahwa tidak satu persen pun pelajar usia 13 – 19 tahun berkategori baik sekali, hanya 11% pelajar usia 16-19 tahun dan 14,8% pelajar usia 13- 15 tahun berkategori baik (Kantor Menpora, 1997),
2) tingkat kebrutalan remaja makin meningkat, dan
3) kemampuan berkompetensi dengan negara lain baik di bidang olahraga maupun bidang nasional lain makin menurun.

Dalam membangun sistem pendidikan nasional tentunya tidak akan menolak penawaran bahwa bidang pendidikan bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak, namun demikian konsep intelegensi harus dipahami sebagai suatu konsep yang multi dimensi. Menurut Golleman (1995) dalam kehidupan seseorang, IQ ternyata hanya memberikan sumbangan sebesar 20% terhadap kesuksesan seseorang, sedangkan yang 80% tentunya masih ditentukan faktor lain. Oleh karena itu, menurut Gardner (1993) intelegensi harus dipahami sebagai serangkaian kemampuan, bakat dan keterampilan yang dimiliki seseorang, termasuk di dalamnya kemampuan gerak (bodily-kinesthetic intelligence). Intelegensi ini mencakup tiga kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh para atlet, penari, atau pemburu dalam mengaktualisasikan kemampuan mereka masing-masing yang tidak mudah begitu saja ditiru oleh orang lain. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka pada makalah ini sesuai dengan permintaan panitia KONAPSI IV di jakarta ini, saya mencoba menawarkan gagasan mengenai paradigma baru pendidikan jasmani yang berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak. Model ini akan menawarkan wawasan baru bagi pemerhati pendidikan, khususnya yang menekuni profesi
sebagai guru pendidikan jasmani, sehingga melalui pendidikan jasmani akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas secara utuh.

Mengapa Manusia Perlu Pendidikan Jasamani ?
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan membawa dua kelemahan, yaitu sebagai
makhluk hidup
1) paling tidak berdaya dan

2) paling tidak teratur dibanding makhluk hidup
lain. Untuk memberdayakan manusia dan hidupnya menjadi teratur maka manusia perlu pendidikan, dan pendidikan yang pertama dan utama harus diberikan sejak dini atau sejak lahir adalah penjas. Apabila hal ini tidak dilakukan dengan baik dan benar maka jangan mengharapkan keturunannya menjadi orang yang sempurna baik secara fisik maupun non fisik. Conrad yang dikutip oleh Willgoose (1986) dalam hal ini menyatakan bahwa, “Manusia dilahirkan, berjuang, kemudian meninggal”- suatu sejarah singkat kehidupan yang menarik. Kata kuncinya di sini adalah “berjuang”. Hidup adalah perjuangan. Kemampuan seseorang dapat bekerja untuk mengerjakan sesuatu adalah sin qua non. Dengan ini seseorang dapat bekerja keras untuk mencapai kesenangan yang pasti. Hal ini dapat dicapai “tidak hanya duduk diam di tempat melainkan harus berjuang untuk meraihnya, tidak hanya menerima namun juga harus memberi, dan tidak dengan istirahat tetapi dengan bekerja.”.Dalam sejarah Olimpiade modern juga terkenal istilah, “Semoga di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat”. Di dalam pepatah Arab juga terkenal istilah, “Di dalam akal yang sehat terdapat badan yang sehat”. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa untuk dapat berjuang seseorang harus memiliki jiwa dan raga sempurna. Hal ini akan dapat diwujudkan apabila setiap orang memahami fungsi pendidikan jasmani dalam ikut menentukan kualitas SDM yang tidak hanya unggul dalam bidang intelktual saja, namun didukung pula oleh keunggulan di bidang fisik, psikomotor dan sikap.

Pengertian Pendidikan Jasmani
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari suatu proses pendidikan secara keseluruhan, adalah proses pendidikan melalui kegiatan fisik yang dipilih untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan organik, neuromuskuler, interperatif, sosial, dan emosional (Bucher, 1979). Melograno (1996) menyatakan bahwa penjas adalah proses pemenuhan kebutuhan pribadi siswa yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor yang secara eksplisit dapat terpuaskan melalui semua bentuk kegiatan jasmani yang diikutinya. Berdasarkan pengertian ini, maka pelaksanaan penjas di lapangan harus memahami asumsi dasar berikut ini:
1. penjas adalah proses pendidikan yang berpusat pada siswa.
2. Penjas harus memfokuskan pada keunikan dan perbedaan individu
3. Penjas harus mengutamakan kebutuhan siswa ke arah pertumbuhan dan kematangan di dalam semua domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
4. Hasil penjas harus dikaitkan dengan kebutuhkebutuhan yang dapat dicapai secara nyata.
5. Kegiatan fisik yang dilakukan meliputi semua bentuk pengalaman gerak dasar kompetitif dan ekspresif.

Menurut Annartino, et al (1980) ada delapan
ciri program pendidikan jasmani yang baik, yaitu:
1. merupakan salah satu bagian integral yang tak terpisahkan dari usaha pendidikan sekolah secara keseluruhan.
2. Merupakan salah satu proses yang dapat memberikan pengalaman secara seimbang sertaakan mendorong pertumbuhan dan perkembangan di dalam domain fisik, serta psikomotor, kognitif, dan afektif.
3. Harus didasarkan pada interes, kebutuhan, tujuan, dan kemampuan dari siswa yang dilayani.
4. Memberi pengalaman yang dikaitkan dengan bidang-bidang dasar kehidupan dan disesuaikan
dengan tingkat kematangan peserta didik.
5. Bagian integral dari masyarakat yang dilayani.
6. Tersedia fasilitas yang memadai, alokasi waktu yang cukup, peralatan yang memadai, kepemimpinan, dorongan dan memberikan suatu ruang gerak dari kegiatan yang diinginkan oleh siswa seluas-luasnya.
7. Suatu kerjasama yang lebih dekat dengan petunjuk program di sekolah. 8. Salah satu cara untuk mempercepat dan mendorong pertumbuhan yang profesional dan kesejahteraan guru yang terlibat di dalamnya.

Berdasarkan uraian tersebut, maka filosofi pendidikan jasmani modern menurut Bucher (1979), program pembelajaran penjas di sekolah harus didasarkan pada komponen berikut ini:
1) Berpusat pada siswa,
2) Disesuaikan dengan lingkungan sekolah,
3) Didasarkan pada perhatian dan keinginan anakyang dihubungkan dengan sekolah,
3) Didasarkan pada perhatian dan keinginan anak yang dihubungkan dengan kebutuhan masyarakat,
4) Guru sebagai pemandu merencanakan program kegiatan bersama-sama siswa,
5) Dipusatkan pada pengembangan anak secara total, fisik, emosional, dan sosial yang perlu disempurnakan dan ditambah dengan kebutuhan mental,
6) Pelajaran pribadi secara langsung, memberi kesempatan untuk menunjukan kreativitas, sosialisasi, pemecahan masalah, dan bereksperimen,
7) Berhubungan dengan masyarakat sekolah yang tertutup dan bekerja sama dengan keluarga,
8) Disiplin pribadi,
9) Kurikulum yang universal,
10 ) Membantu lingkungan sekolah,
11 ) Menjamin terhadap pengembangan siswasecara individu, dan
12 ) Kelas sebagai laboratorium untuk menguji ideide baru


Tujuan Pendidikan Jasmani
Tujuan pendidikan jasmani yang ingin dicapai pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah, tentu harus diselesaikan dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara. Meskipun demikian, tujuan pendidikan jasmani harus mengacu pada pengembangan pribadi masnusia secara utuh, baik manusia sebagai makhluk individu, makhluk susila dan makhluk religius. Menurut Bucher (1979:45), ada 5 tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan jasmani, yaitu:

1. organik, aspek ini terkait dengan masalah kemampuan siswa mengembangkan kekuatan otot, daya tahan kardiosvaskular, dan kelentukan.
2. Neuromuskuler. Aspek ini terkait dengan masalah kemampuan siswa dalam mengembangkan keterampilan lokomotor, keterampilan nonlokomotor, dan bentuk-bentuk keterampilan dasar permainan, faktor-faktor gerak, keterampilan olahraga, dan keterampilan rekreasi.
3. Interperatif. Aspek ini terkait dengan masalah kemampuan siswa untuk menyelidiki, menemukan, memperoleh pengetahuan dan membuat penilaian. Memahami peraturan permainan, mengukur keamanan, dan tata cara atau sopan santun. Menggunakan strategi dan teknik yang termasuk di dalam kegiatan organisasi. Mengetahui fungsi-fungsi tubuh dan hubungan dengan aktivitas fisik. Mengembangkan apreasiasi untuk penampilan individu. Menggunakan penilaian yang dihubungkan dengan jarak, waktu, ruang, tenaga, kecepatan, dan aturan yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan, bola dan diri sendiri. Memahami faktor-faktor pertumbuhan dan perkembangan yang berhubungan dengan gerak. Berkemampuan memecahkan permasalahan dan berkembangan melalui permainan.
4. Sosial. Aspek ini terkait dengan masalah kemampuan siswa melakukan penilaian terhadap diri sendiri dan orang lain dengan menghubungkan individu untuk masyarakat dan lingkungannya. Kemampuan dalam membuat penilaian dalam suatu situasi kelompok. Belajar berkomunikasi dengan orang lain. Berkemampuan untuk merubah dan menilai ide-ide dalam kelompok. Pengembangan dari fase-fase sosial dari kepribadian, sikap, dan nilai-nilai agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Mengembangkan sifat-sifat kepribadian yang positif. Belajar untuk membangun waktu seng gang yang bermanfaat. Mengembangkan sikap yang menggambarkan karakter moral yang baik.
5. Emosional. Aspek ini terkait dengan masalah kemampuan siswa melakukan respon yang sehat terhadap kegiatan fisik melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Mengembangkan tindakan-tindakan positif dalam menonton dan keikutsertaan baik pada saat berhasil maupun kalah. Menyalurkan tekanan melalui kegiatankegiatan fisik yang bermanfaat. Mencari jalan keluar untuk ekspresi dan kreativitas untuk diri sendiri. Mewujudkan suatu pengalaman seni yang berasal dari kegiatan-kegiatan yang terkait. Berkemampuan untuk memiliki kegembiraan atau kesengsaraan. Pendidikan jasmani menurut Gabbar (1975:5) ada tiga tujuan pokok yang harus dicapai, yaitu:
a) psikomotor,
b) kognitif,
c) afektif.
Aspek psikomotor
meliputi pertumbuhan biologis, kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan dan keterampilan, efisiensi di dalam gerakan, dan sekumpulan dari keterampilan gerak. Aspek kognitif merupakan kemampuan untuk berpikir (penelitan, kreativitas, dan hubungan) kemampuan perseptual, kesadaran gerak, dan dukungan atau dorongan akademik. Aspek afektif meliputi kegembiraan, konsep diri, sosialisasi (hubungan kelompok), sikap dan apresiasi untuk aktivitas fisik.

Tidak ada komentar: